Suara Kerinduan


Dalam kelam aku selalu menunggu cahaya. Menyudut untuk menyuarakan rindu yang tak pernah dibenahi dengan temu haru yang kuingini.  Setiap kali napasku berhembus, kala itu aku sedang menjerit untuk melihat satu sosok yang memaksaku berada di sini. Ayah. Hampir setiap pagi aku selalu berlari mengejar mentari agar usailah hariku di sini dan hendak kembali. Nyatanya, aku harus menenun detik dan menunggu saat yang tepat untuk beranjak pergi dan berada di rumah.
Masih kuingat, kala senja itu menemani. Di bawah langit sore, ayah mengajakku jalan-jalan menikmati pesisir dengan motor bututnya. Pergi jauh menjajak 18 kilometer tanpa henti. Cuaca sangat mendukung perjalanan kami, debu kian bersahabat menempel pada bajuku yang sedaritadi bau pewangi yang dibuat ibu agar tak berbau busuk saat curah keringat mengerumuni. Ayah merasa cukup lelah dengan jarak segitu tanpa henti, kami memutuskan untuk beristirahat di warung bakso di pinggir jalan. Ada pesisir pantai di belakang warung itu, membentang seakan pamer akan indahnya kilau-kilau pasir Pantai Barat Sumatera. Aku tak ingin menyia-nyiakan pemandangan itu. Sebentar lagi, matahari turun dan akan kusaksikan fenomena yang mungkin akan jarang kutemui.
Dan benar saja, aku jarang menyaksikan matahari terbenam. Aku merasa, rinduku telah membawaku kepada waktu saat matahari terbenam bersama ayah. Kala itu, kulihat ayah tersenyum dan berkata, “Selanjutnya, kau tau apa yang harus kau lakukan, Nak. Jadilah dewasa, dan putuskan segala sesuatunya sendiri. Ayah tau kau pasti bisa…” Setiap aku memaksa ingatanku untuk mendengar kata-kata itu, aku bersedih. Kata-kata yang kuat dari kegagalan ayahku untuk program S2nya, demi aku. Itu bukan kali pertama. Diawali dengan niat untuk maju, ayah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, kakakku ternyata lebih membutuhkan biaya itu untuk melanjut ke perguruan tinggi. Ayah hanya tersenyum dan mengurungkan niatnya. Hal itu terulang lagi, karena aku dengan alasan yang sama.
Di sepanjang pesisir, ombak bergulung berkejar-kejaran dengan yang lain. Beberapa asyik memainkan buih-buih ombak dan yang lainnya hanya menunggu titik terakhir matahari bersembunyi di balik gunung raksasa yang kulihat. Ayah bersandar pada satu pohon kelapa yang condong dan melepas lelah. Aku melihatnya dari kejauhan, begitu kurus dan cukup tua. Pernahkah ayah hanya memikirkan dirinya sendiri? Hatiku tiba-tiba bertanya pada kelam yang sedang kunanti. Kalau saja aku mengerti, mungkin aku tak akan pernah manja dan kekanak-kanakan. Aku menyisir pinggir pantai dengan kaki tenlanjang dan menikmati udara sore sambil memikirkan hal yang tak bisa kudeskripsikan.
Matahari tak tampak lagi. Sekarang pandanganku diterangi oleh cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk di pinggir pantai. Dari jauh, kulihat ayah melambaikan tangan, memanggilku lalu tersenyum. Mungkin itu adalah senyumannya sebelum ia memberangkatkan aku berkuliah dan terpaksa dewasa, kelak yang akan ditempah untuk menjadi pekerja dan memiliki keluarga lain. Itu adalah siklus yang paling sederhana yang pernah kugambarkan ketika aku telah jauh dari ayah.
“Apa yang sudah kau dapat hari ini?” Tanya ayah sebelum kami meninggalkan pantai yang membentang indah meski malam sudah berkunjung.
“Aku hanya menikmati udaranya dan melihat beberapa sedang bermain dengan ombak. Pantai sungguh luar biasa. Akankah aku bisa menikmatinya setiap hari ketika jauh dari Ayah dan Ibu?” aku kembali bertanya sambil berjalan ke depan.
“Ayah rasa, kau pasti akan menikmatinya. Fokuslah pada tujuanmu, belajarlah dengan tekun. Ayah yakin, Ayah akan bangga melihatmu berkuliah dan menjadi arsitek hebat kelak,” kata-kata ayah saat itu membuatku bersemangat.
Ayah merangkul bahuku dan berjalan ke parkiran tempat motor bututnya. Kami melanjutkan perjalanan dan berbincang-bincang sepanjang roda motor ayah berputar.
Malam ini, aku harus mengulang kembali kepedihan yang selalu kukutuk agar tak terulang. Aku bukanlah calon arsitek, seperti bayangan ayah malam itu. Aku tak akan fokus pada tujuanku. Aku telah menjadi sosok lain yang sama sekali belum mempersiapkan diri untuk menghadapi kelak menjadi jati diri ini. Tak akan pernah kualami berbaur dengan orang-orang yang kuingini, menjalin hubungan sosial dengan latar belakang yang sama dan aku harus berbohong untuk tetap berada di garis yang sudah terlanjur kujalani. Saat ini, aku bagai dihempas badai dalam nyenyat, bernapas di gumpalan debu dan berteriak di ruang hampa bahwa aku sama sekali belum bisa menerima diriku sebagai calon ahli madya di bidang informatika.
Aku melupakan rasa ketidakrelaanku. Ketika aku hanya mampu menembus dinding perguruan tinggi tempatku berkuliah sekarang, ayahku tak marah. Dia tetap tersenyum dan menyemangatiku. “Kau tak harus menjadi seorang arsitek bila ingin berhasil. Kau akan tetap menjadi mutiara jika kau tetap berkarya. Apapun yang kau lakukan, serahkan dalam nama Tuhan. Kau tak akan jatuh, Anakku. Jalanilah! Ayah yakin, kau berpotensi untuk mendalami bidang ini,” untaian kata yang menjadi penguat bagiku untuk menapak masuk perguruan tinggi ini.
Hanya sebatas itu. Setelahnya, aku merasa berbeda dan di luar kendali. Aku terlalu kontras untuk berbaur di sini. Membenci segala sesuatu yang menjadi peraturannya dan susah untuk beradaptasi. Terkadang aku harus menjadi orang lain agar aku bisa bertahan. Di sini adalah dunia yang berbeda. Dunia yang solid untuk bersatu dan membenci pecundang. Tidak setiap orang melakukan hal yang baik. Hanya saja, kita harus mampu memilah dan bersabar. Hingga saat inipun, aku kurang menyukai tempatku sekarang.
Pernah satu ketika, aku merasa muak dengan keadaan sekelilingku. Aku berbaur dengan mahasiswa baru, sama dengan diriku. Mereka tidak terlalu baik, sikap kompetitif tertanam dalam diri mereka, dan beberapa dari mereka terlalu buruk untuk berada di sini. Aku menghubungi kakakku, “Pernahkah kau rasakan seperti yang kurasakan sekarang?” suaraku bergetar saat koneksi tersambung dengan ponsel kakakku.
“Aku tau bagaimana kehidupan yang kau alami. Kau betul-betul telah bergabung dengan orang-orang yang tak pernah sama denganmu. Mereka bisa bertopeng dan lakukanlah itu jika kau mau. Tapi kau harus peduli dengan setiap kebaikan,” suara kakakku terdengar tegas dari seberang dan aku hanya terdiam. “Sebelum kau menutupnya, ingatlah bahwa mereka hanya secuil dari bagian bumi yang akan musnah ketika mereka tetap memakai topeng mereka. Jika kau ingin, kuulangi sekali lagi, kau bisa memakai topeng. Tapi pikirkan lagi, Adikku. Bersabarlah, mereka bukan apa-apa dalam sikap mereka yang sesungguhnya,” suaranya hampir membunuh niatku untuk berhenti kuliah dari tempat ini.
Saat itu, aku masih belum merasa puas dengan pendapat dan anggapan kakakku mengenai kehidupan yang kurasa adalah kesalahan jika terus melanjutkannya. Aku mencoba menghubungi ayah. Berharap ayah akan mendukungku untuk berhenti dari kehidupan di tempat ini.
“Ayah, kurasa ini bukan tempat yang tepat. Semuanya tak bisa kukendalikan, Ayah!” suara tegar yang sengaja kubuat agar ayah tak terlalu khawatir.
“Tidak setiap saat kau mampu mengendalikan sesuatu, Anakku! Jangan pandang orang-orang itu,” suara ayah seperti kerlingan air yang menyejukkan.
“Tapi, Ayah, aku bukanlah orang yang sama dengan mereka. Mereka bisa bertahan jadi orang lain. Mereka bisa menikmati keadaan ini, karena inilah hidup mereka. Dan ini bukan duniaku!” penegasanku seakan-akan menyenggak ayah.
“Dewasalah. Jadilah dewasa yang pertama jika menurutmu mereka bukan orang dewasa. Mereka tidak sepertimu. Mereka akan tetap biasa jika mereka tetap seperti itu. Pedulilah terhadap dirimu. Jika menurutmu mereka hanya mengurusi keadaan orang lain tanpa memandang dirinya, jangan dekat dengan mereka. Lakukanlah apa yang membuat dirimu tenang. Tutup telingamu jika mereka masih berkata-kata tentangmu selama mereka masih buta akan diri mereka sendiri,” tiba-tiba suara ibu menasihatiku. “Jangan takut, Sayang. Jangan mengikuti arus mereka. Kami di sini mengharapkan kau baik-baik saja dan tenang. Ayah dan Ibu yakin kau bisa melakukannya. Pikirkan dirimu dahulu ketika kau ingin berbicara tentang orang lain. Jangan berlaku seperti mereka ketika kau menganggap itu kebodohon,” suara Ibu semakin membesar seakan-akan dinding-dinding menyuarakannya kembali.
Aku semakin terpaku di sini dengan alasan bukan untuk diriku. Banyak hal yang telah kukorbankan. Aku tak bisa membayangkan bahwa aku harus mengurungkan niatku untuk tak mengulang ujian seleksi masuk perguruan tinggi, aku harus mencoba mencintai pilihan yang sudah kuambil, baik buruknya adalah konsekuensi yang harus kuterima. Ketika satu hal tidak kusukai, itu adalah keterpaksaan untukku agar aku bisa menyukai hal tersebut.  Ketika ini, segala sesuatu yang menurutku akan kuakhiri saat aku mengulang ujian masuk perguruan tinggi, tetap berlanjut hingga aku menjadi seorang ahli madya di bidang informatika.
Hal itu bukanlah masalah yang harus kuperdebatkan dengan hatiku saat ini. Aku mulai menikmati ketidaknyamanan ini dengan tidak mengimitasikan sikap-sikap sekelilingku yang mempersulit keadaanku. Mungkin kelak aku bukan orang yang paling baik, tapi aku telah berusaha untuk baik dengan memantulkan diriku apa adanya dari cermin yang kugunakan. Kegundahan saat ini adalah rindu kepada ayah dan ibu. Ayah yang selalu mengajakku jalan-jalan ketika aku merasa penat di rumah, jajan di pinggir jalan atau sekadar bermain ular tangga atau kartu. Semua itu sudah mengusir rasa bosanku. Atau ibu, jika ia hendak pergi dan aku akan sendirian di rumah, dia akan membawaku kemana saja, dan acara yang paling sering kami hadiri bersama adalah arisan Dinas Pendidikan karena ayahku adalah seorang guru.
Aku duduk di bangku di bawah pohon. Mengingat suara ayah saat kami menengadah langit bersama. Aku tersenyum membayangkan jika aku hanya menengadah ke langit sendirian.
“Kau kenapa?” Ulin mengusik anganku yang menerbang jauh tentang ayah.
Aku tak tau, sudah berapa lama Ulin memperhatikan tingkahku. “Aku hanya ingin menikmati kelam ini,” kataku.
“Hahaha, kau sangat lucu, Teman. Aku belum pernah bisa menikmati malam tanpa melakukan sesuatu lain yang bisa membuat tubuhku bergerak,” Ulin tertawa dan duduk di sampingku.
“Kau pasti bisa. Kau tak merindukan ibu atau ayahmu?” Aku bertanya padanya sambil memandang wajahnya yang panjang yang bergelut heran dengan pertanyaanku.
Matanya yang kecil membelalak memberiku respon, “Aku tak pernah merindukan mereka,” ungkapnya. “Aku tak tau. Tapi memang benar. Aku belum pernah merindukan mereka,” Wajahnya berpaling dan memandang lurus ke depan.
Udara semakin dingin dan aku masih bertarung dengan kerinduan yang memaksaku pulang ke rumah. “Aku sering memandang bintang bersama ayah,” aku menarik napas panjang dan melanjutkan ceritaku, ”Ayahku pernah mengatakan, ‘Bila kau memandang bintang bukan bersama Ayah, ingatlah bahwa Ayah berada di antaranya, dan akan tersenyum melalui benderang yang kau lihat’ dan aku selalu melakukan itu saat aku merasakan rindu,” aku tersenyum melihat Ulin yang sama sekali sepertinya belum merasakan sensasi rindu sepertiku.
“Sungguh, aku tidak tau bagaimana rasa kerinduan yang kau maksud, Re. Yang kutau, ketika aku harus kembali ke rumah, itulah batas rinduku muncul dan segera terobati, menurutmu? Apakah begitu yang kau maksud?” Tanya Ulin padaku.
“Kerinduan itu berbeda. Kita tak mungkin sama. Ada latar belakang dari setiap hal yang kita rindukan, Lin,” kataku.
“Kau ingin melihat bintang?” Ulin menengadah langit dan memutar kepalanya mencari bintang.
Aku tersenyum melihat tingkah Ulin mencari bintang. “Sebenarnya aku tak pernah peduli apakah satu malam itu ada bintang atau tidak. Yang selalu kuimajinasikan adalah ada bintang yang selalu di hatiku,” ungkapku pada Ulin sambil membayangkan bintang itu sekarang ada di hatiku.
“Hahaha, kau bisa saja, Re,” gelagak tawa Ulin kian mengecil. “Re, nyamankah kau di sini?”
“Apa yang membuatmu bertanya seperti itu?” Mataku terpaku pada sorot mata Ulin yang mulai redup.
“Aku juga tak mengerti. Kukira kita sama-sama merasakan ketidaknyamanan ini,” Ulin menunduk dan suaranya mengecil.
Aku semakin larut dalam keheningan. aku belum bisa menjawab pertanyaan Ulin. Aku hanya sedikit tidak nyaman berada di sini. Tak akan kupungkiri kenyataan, hingga hari ke-152 kami berada di sini, kenyamanan itu masih belum utuh. Inilah yang sering kusebut kebodohan.
Ulin mendongak dan tersenyum. “Sudahlah jika menurutmu kau merasa nyaman. Apa yang kau pikirkan tentang libur besok?” Ulin mengemukakan sesuatu yang tak pernah kupikirkan.
Kembali aku melihat wajah Ulin yang bercahaya di tengah gelap. Aku terpaku jauh mendalami wajahnya yang sama sekali tak memberiku ide untuk berbicara.
“Baiklah, jika liburan juga tak bisa menarik perhatianmu untuk berbicara,” goresan kecewa mulai terpancar.
Aku menunduk dan memerhatikan tanah yang lembab. “Aku tak tahu, besok mulai libur, Lin,” kulihat lagi wajah Ulin yang mengerut heran.
“Jadi? Hanya merindukan ayah dan ibumukah kau selama ini? Pernahkah kau berpikir untuk kembali? Hahahaha,” Ulin tertawa mengisi kegemparan di bawah pohon. “Kau telah larut dalam kerinduanmu, Renatha. Kau tak pernah berpikir, bagaimana kau harus bisa kembali ke rumah. Kau mungkin tak akan berpikir untuk menyudahi ketidaknyamanan,” Ulin menutup mulutnya. “Hmm, bukan ketidaknyamanan tapi kepenatan akan jam akademik dan ujian-ujian yang hampir membunuhmu. Ckck,” Ulin mendecak dan memandang bodoh aku.
Aku masih diam dan bingung. Aku bahkan tak pernah berpikir akan hari kepulanganku ke rumah. Kapanpun itu terjadi, akan berhujung pada kembalinya kami ke sini untuk melakukan hal-hal yang membosankan setiap harinya. Libur hanyalah sebentar.
“Ayolah, Re! Katakan sesuatu,” Ulin masih memancingku untuk berbicara. “BESOK KITA LIBUR!” Ulin mengatakan kalimat itu lambat dan aku masih tercengang. “Yasudahlah,” Ulin beranjak dari tempat duduk dan hendak pergi.
“Besok atau lusa, kapanpun itu, hanya sebentar terjadi. Selanjutnya kita akan kembali dan merenung untuk kerinduan yang selalu diurung. Lupakan saja liburan singkat itu,” kataku sambil memandang kosong tatapan Ulin.
Ulin kembali duduk dan mengacak rambutku. “Dengar, Renatha! Mungkin 10 hari itu terlalu singkat bagimu. Tapi kau bisa memanfaatkannya untuk melakukan hal-hal yang menjadi kerinduanmu untuk kau lakukan bersama keluargamu. Kau terlalu memaksa untuk dekat dengan mereka,” helaan napas Ulin terasa. “Kau pernah mengatakannya padaku, kau membaca kutipan Imam Syafi’i, sosok yang tak akan pernah kau temui. Orang berilmu dan beradab tidak akan diam tinggal di kampung halaman dan berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah berjuang,” sekali lagi Ulin menghela napas panjang. “Jangan manja, jadilah dewasa yang sebenarnya. Urungkan sebentar kerinduanmu jika waktunya belum tiba. Rasakanlah, itu tidak akan berlangsung lama,” Ulin mengedipkan matanya padaku.
Baru kusadari, kerinduan yang dirasakan Ulin adalah kerinduan yang sama seperti yang kurasakan. Hanya aku memang belum bisa menata perasaanku dan menjadikan diriku dewasa yang sebenarnya. Aku belum mampu untuk bersabar dan terlalu memaksakan diriku sendiri.
**
Kejadian semalam serasa menggelitik perutku. Ulin menyebutku belum dewasa. Sekarang rumah kerinduanku adalah tempatku berpijak. Melihat ibu yang menyambutku dengan  jus jeruk yang segar setelah hampir seharian menempuh perjalanan kembali ke rumah. Hal yang luar biasa bertemu ayah yang masih seperti itu.
“Bagaimana kalau besok sepulang gereja kita pergi ke kampung?” Tanya ayah sambil menghabiskan sebatang rokok di tangannya.
Pada tegukan terakhir jus jeruk yang memenuhi mulutku, aku mengangguk pada ayah tanda semangatku untuk melepas kerinduan.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Popular Posts

Recent Posts

Categories

Copyright © Anastasya Hutasoit | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com