image source: https://bocahrimba.files.wordpress.com/
Aku di atas gelombang pasang. Angin selaras dengan
deburan ombak yang menghantam tiang-tiang penegak jalan sempit yang tersusun
dari jajaran papan. Di atas gelombang pasang. Berkejar-kejaran seperti berlomba
untuk menjulang sangat tinggi. Mencapai udara di atas gelombang, membasahi
kaki-kaki yang berjalan di atas jajaran papan, di atas gelombang pasang.
Semilir angin meliuk-liuk ke sela-sela rambutku.
Helai rambutku seakan melayang namun kembali jua. Katanya ini Ketapang, satu
tempat dengan kekentalan kehidupan penduduk pesisir. Di atas gelombang pasang,
beberapa rumah berdiri dengan penyokong bertahan dengan tolak-tarik ombak.
Katanya ini Ketapang, tapi tak asri di mataku.
Aku melangkah perlahan, takut kalau-kalau kakiku
terperosok ke dalam papan yang berlubang yang langsung menghantar kakiku
menyentuh air laut. Menghitam. Beling melambai selaras dengan gelojak ombak.
Di atas gelombang pasang, langkah kaki membuyarkan
konsentrasi. Wanita tua dengan seikat kembang segar berwarna-warni dalam
genggamannya. Keriput punggung tangan dan kerudung gelap. Rok panjangnya
terseret-seret diarahkan langkah kaki, dia menunduk, seakan meniti satu persatu
langkahnya dan menerjemahkannya dalam bahasa batin. Seperti hendak menangis.
Beberapa kali kudapati dari kejauhan, punggung tangan yang keriput menyeka pipi
yang tersembunyi. Masih menunduk. Kuarahkan kameraku padanya. Dia berhenti.
Mengangkat wajahnya kemudian.
“Apo yang
nandak kau lakukan, Anak Mudo? Ambo tak sanang baitu!1” ucapnya dingin.
Bahasa pesisir dengan logat kental dari tempat yang
bernama Ketapang.
Aku menurunkan kameraku dan memandang matanya. Jauh
ke dalam, seperti perubahan warna mata tiba-tiba, pelupuk matanya seakan
mengelupas. Di balik kerudung gelap, terurai sedikit rambut putihnya dibawa
tiupan angin.
Tangannya tak lepas mengenggam seikat bunga segar.
Aku memerhatikannya kembali. Wanita tua itu tampak asing di sini. Di kala
orang-orang menyiangi ikan asin, beberapa anak berkejar-kejaran tak takut jatuh
ke dalam ombak dan hanyut kemudian,
seorang
wanita berjalan biasa melewati mereka dengan kerudung gelap, di atas gelombang
pasang.
Sedetik-dua detik aku larut dalam matanya yang
redup, dia berjalan dan berhenti kemudian di satu sisi buntu dengan hamparan
gelombang di depannya.
Aku memotretnya dari jauh. Seperti dia menyadari
aksiku, dia mengarahkan wajahnya ke arahku dan sempurna gambarnya! Aku kembali
berjalan mencari tempat yang seharusnya aku sudah sampai untuk beristirahat
sebentar. Aku memotret tingkah lasak anak-anak yang sedang bermain di atas
jajaran papan-papan rapuh seakan tak takut jatuh ke dalam ombak dan hanyut
kemudian.
“Bruuukk!!”
Seseorang terjatuh di hadapanku. Seorang bocah tanpa
kasut kaki terduduk dan menunduk.
“Maaf!” ucapnya dingin.
Dari antara anak-anak yang bermain, sudah jauh
kutinggalkan. Seorang dari mereka mungkin, jatuh di hadapanku. Tak kusadari,
sepertinya ia berlari dan menabrakku. Kemudian ia meminta maaf dan tetap
dingin. Mulutku terkatup. Tanpa aksi aku membiarkan bocah itu menunduk dan
berlari kemudian. Aku memotretnya dari belakang, dari punggungnya yang kecil,
dia sebentar menoleh ke belakang, seakan tau aksiku dan sempurna gambarnya!
*
“Kau pernah melakukannya?” tanya Nania padaku sambil
menuangkan sayur-sayur sisa berair ke ember makanan babi.
Di atas gelombang pasang yang menderu menghantam
tiang-tiang penyokong rumah, Nania melangkah gesit menghindari lubang di antara
jajaran papan pemberi jalan. Tangan kekarnya lekas menuangkan makanan ternak
yang sudah dipanaskannya. Kuperhatikan babi-babi tambun melahap makanan “sampah”
di hadapanku. Kuraih kamera yang tergantung di leherku dan memotret aksi rakus
babi-babi itu.
“Baru ini aku melihat ternak seperti ini diberi
makan,” kataku menerpa wajah Nania yang memandangiku sedari tadi.
Aku tersenyum, melemparkan rasa terima kasih karena
keluarga Nania memberiku tempat untuk istirahat sebelum menaklukkan Ketapang
ini.
“Tunggu aku di depan, Hans. Aku akan membersihkan
semuanya dan kemudian, kita akan berkeliling di atas jajaran papan,” kata
Nania.
Aku mengangguk pelan dan langsung mengarah ke teras.
Teras papan bersambung dengan ruang tamu papan juga. Di atas penyokong yang
dihantam tolak-tarik ombak, di atas gelombang pasang.
Aku menyetel kameraku dan memerhatikan lalu-lalang
yang memerhatikanku. Aku memang asing di sini. Wajah yang terbentuk dari
perpaduan Batak dan Aceh-Jepang memang membuatku menjadi sorotan. Kebanyakan
masyarakat di sini berkulit hitam karena bergelut dengan penguasa siang
sepanjang hari. Pemuda di sini tampak kekar, tak seperti badanku yang kurus
menjulang tinggi dengan betis mirip peragawati. Aku lelaki, tapi tak seperi
lelaki di sini.
Nania muncul tiba-tiba dengan dandanan menor seakan
hendak mengajakku kondangan. Casual style
yang sangat bertolak belakang dengan tampilan Nania menggelitik perutku.
Roknya panjang, sedangkan aku menggunakan celana pendek. Kemudian Nania
berjalan di depan, bak seorang guide.
Aku berhasil menaklukkan beberapa meter jajaran
papan pemberi jalan bersama gejolak ombak yang kian mengganas. Di bawah terik,
kurasakan tapakan yang tak rata. Seperti tumpukan jerami, jajaran papan pemberi
jalan seperti mengombang-ambingkan tubuhku dan mengguncang isi perutku. Mulutku
membisu menahan rasa muak terlebih melihat kandang-kandang babi di beberapa
sisi jajaran papan pemberi jalan di atas gelombang pasang.
“Ise na diboan
mi, Nania? Bagak hu ida bah,2”
seorang wanita muda muncul dan berhenti di depan Nania, bercakap-cakap kemudian
dalam bahasa Batak.
“I do?
Familiku do on, Akkang. Sian Solo, naeng liburan di son,3” kata Nania lancar dengan
bahasa Bataknya.
Seperti sepi mencekam hadirku. Tak banyak orang yang
memerhatikan. Kebanyakan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kemudian aku
tersenyum seadanya kepada wanita itu. Mungkin wajahku tak merona lagi di bawah
sengat terik ini. Sudah pucat pasi dengan perasaan mual seperti
diombang-ambing.
“Hu hira
halletmu bah, Nania, lomo rohaku mangida,4” kata wanita itu sambil menunjukku.
Aku melotot kaget dan mataku seperti dicongkel
keluar. Nania hanya tersenyum, melihatku kemudian.
“Ah, daong.
Anak ni namboruku do on, Akkang,5”
jawab Nania lagi.
“Oke ma dah
molo songon i. Sukses dohot pariban ate,6” wanita itu berlalu sambil memekarkan senyum kilatnya
padaku.
Selanjutnya, kami berdua menyisir jajaran papan
pemberi jalan yang semakin sepi dan menyengat.
Nania membawaku di satu pondok bekas perebusan ikan.
Masih terasa bau amis. Di hadapan kami bergemuruh ombak-ombak sedang menghantam
pinggiran jalan dan membasahi kaki-kaki yang melewati jajaran papan pemberi
jalan.
Aku teringat pada wanita tua yang kutemui beberapa
hari lalu. Dia tepat berdiri di sini saat aku mengambil gambarnya. Jelas
kuingat, kerudung dan seikat bunga di genggamannya.
“Kau kenapa, Hans?” Nania membuyarkan konsentrasiku.
Aku memandang ke arah Nania. Wajahnya diterpa silau mentari yang membakar. Jauh di
kedalaman matanya berbayang wanita tua yang pernah kutemui. Sedang menabur
bunga di pinggir jajaran papan, di bawah sengat mentari, bersama gejolak
ombak
bunga yang ditabur berlalu menjauh. Jauh di kedalaman matanya, wanita tua itu
menyeka pipinya dan menghilang perlahan.
“Hans…” sapa Nania sambil mengguncang lenganku.
Aku melihat lagi, gelap kulit tangan Nania menyentuh
lenganku, seakan meretakkan hastanya. Angin yang berhembus terasa panas. Jauh
di kedalaman pandangan Nania, pupilnya perlahan mengecil dan menjadi setitik,
kemudian tiada. Hanya selaput putih yang terlihat di balik kelopak mata Nania.
Selaput putih yang menjahit mulutku untuk tak bersuara.
Senyum Nania tipis. Bibirnya pecah dan mengering
secepat mataku beralih. Semua tampak menakutkan. Dari ujung-ujung jari tangan
Nania, keluar kuku-kuku runcing pucat. Aku masih memerhatikannya. Sesaat Nania
kembali seperti semula. Aku langsung menjauhkan lenganku dari jamahannya.
“Kau melihatnya, Hans?” tanya Nania menunduk.
“Kau bicara apa?” aku balik bertanya dengan suara
yang masih bergetar.
“Wanita itu, di mataku,” kata Nania lirih.
Aku diam. Wanita tua yang barusan kulihat di
kedalaman matanya tampak akan membuat Nania sedih. Sementara pancaran
ketakutanku tak bisa ditutupi.
“Tidak. Sudah, lupakan itu. Aku ingin kembali ke
rumahmu,” jawabku.
“Kita akan di sini sampai petang,” katanya lagi.
“Kenapa harus di sini?” tanyaku.
“Kita akan lebih aman berada di sini,” cekam suara
Nania membuatku menurut.
Matahari kian surut di Barat, melukis keindahan di
tepinya, di balik gunung. Petang yang dimaksud Nania berkunjung. Lelap memeluk
Nania. Di bawah langit sore, aku mengabadikan gambar indah di atas gelombang
pasang yang menjadi surut sebentar. Nania masih terbuai oleh sentuhan angin.
Pasang semakin surut dan lautan di hadapanku kering. Aku berdiri dan turun ke
dasar lautan yang tak berair lagi. Kering
keronta.
Sesaat hijau bak hijaunya kebun teh yang sering kulihat. Sekilat muncul
beberapa orang dan berlalu lalang di hadapanku. Orang-orang itu sibuk seperti pekan
pasar pagi, mungkin juga tak memerhatikan keberadanku yang memerhatikan mereka.
Tanpa kasut, kaki mereka menyusur tanah dan berjalan seakan tak ada henti untuk
beraktivitas. Kuabadikan gambar mereka.
“Bruuukk!!”
Seseorang terjatuh di hadapanku. Seorang bocah tanpa
kasut kaki juga terduduk dan menunduk.
“Maaf!” ucapnya dengan senyum, berlari kemudian.
Ingatanku menerbang pada anak yang menabrakku ketika
aku menyusur jajaran papan pemberi jalan hendak mencari rumah Nania. Pakaian
yang digunakan dan sorotan mata yang sempat kuabadikan.
Dahiku mengernyit dan turut berlari selangkah
mengikuti bocah itu. Kemudian dia berhenti di depan gerbang besar dan berujung
runcing.
Percakapannya seperti memohon kepada beberapa orang
dewasa untuk memasuki gerbang itu. Lebih maju lagi, aku memerhatikan mereka.
“Awak mau
basuo sama uci, sakali lai sajo,7”
ucap bocah itu sambil menangis.
“Ndak bulih!
Uci ang nandak diagi hukuman!8”
bentak salah seorang dewasa itu sambil mencengkeram anak itu agar tak masuk.
Beberapa orang lain berlalu lalang dan memerhatikan
kejadian itu dengan tatapan kosong. Mereka berjalan seperti tak memerhatikan
sekitar. Sebentar saja mataku beralih, simbah darah mengalir dari tubuh bocah
yang sekarang tergeletak. Menggelepar sebentar dan mungkin tak bernapas.
Seorang wanita tua berteriak histeris dari balik jeruji di balik gerbang besar
itu. Wanita tua yang kulihat saat pertama menyusuri Ketapang di atas gelombang
pasang. Kerudung gelap yang membalut kepala hingga leher dan sorotan matanya.
Sedangkan orang-orang dewasa yang bersama bocah itu berhambur masuk dan
meninggalkan jasadnya.
Aku mendekat dan semakin dekat. Mungkin keberadaanku
tak disadari sehingga begitu mudahnya aku mengintip keadaan di balik gerbang
besar itu. Tangan wanita tua itu sedang diikat oleh beberapa laki-laki kekar
dan kemudian menggantungnya. Tepat seperti teroris yang akan ditembak mati,
wanita itu sangat bersedih. Semua jelas terlihat. Jauh di belakang tubuh wanita
tua itu, terdapat tanggul besar yang menjulang tinggi pembatasnya. Aku masih
mengamati.
“Apo yang lai
kau lakukan, Anak Mudo?9”
seorang lelaki tua bertongkat menyentak konsentrasiku.
“Saya hanya,” suaraku terputus.
“Jangan
liek-liek inyo. Inyo nandak dieksekusi.10
Hahaha,” gelegar tawa lelaki tua yang membungkuk itu membuatku heran.
“Kenapa Bapak tertawa?” tanyaku.
“Ang calik
iko?11” tunjuk lelaki
tua itu dengan tongkatnya jasad bocah yang mulai dikerumuni lalat.
“Iko cucunyo,12” tongkatnya kemudian
mengarah pada celah yang dapat menangkap wajah wanita tua yang sekarang menunduk.
“Apa yang sedang terjadi, Pak?” tanyaku mulai
digelut penasaran.
“Ucinyo accok
baapi kalo berang, Anak Mudo,13
hahaha,” tawa lepas itu semakin membuatku bingung.
“Apa yang sudah dilakukannya, Pak?” tanyaku lagi.
“Ala banyak
bana urang mati karananyo. Ang nandak?14”
tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. Lagi-lagi lelaki itu tertawa.
“Jika ia berapi ketika marah, kenapa ia tak berapi
sekarang? Bukankah ia sedang marah?” tanyaku pelan.
“Ha, iko inyo…
Ang harus bisa mancalik yo,15”
perintah lelaki tua itu sambil mengacungkan telunjuknya di depanku. “Calik apo
yang diikek di kakiko,”
Aku memerhatikan segulung bunga berwarna melilit
sebelah pergelangan kaki wanita tua itu. Segulung bunga yang tampak kontras
dari keadaan tubuh wanita tua yang kusam dan seikat bunga yang digenggam wanita
tua yang kutemui saat aku menyusur di jajaran papan pemberi jalan.
“Nah, iko panangkalnyo. Calik sajo, inyo ndak
badayo lai kan?16
Hahaha,” gelegar tawa lelaki itu menyudahi kisahnya dan berlalu.
Aku masih memerhatikan keadaan di balik gerbang dari
celah ramah. Tiba-tiba aku terkejut melihat sorot mata wanita tua yang kini
mengarah padaku. Aku terpaku dan mengembalikan ingatanku saat bertemu dia untuk
pertama kali. Riuh semakin menjadi-jadi. Khalayak tampak semakin ramai. Aku memerhatikan
wanita tua itu lagi. Sesaat dia berteriak kencang seperti angin puting beliung,
sesaat itu pula khalayak berhenti beriuh dan senyap mencekam, riuh kembali
kemudian.
Jauh di belakang tubuh wanita tua itu, bangunan
pembatas tanggul tampak retak kecil. Aku terhenyak dan berlari menjauhi
gerbang. Berlari melewati kerumunan orang-orang yang masih bersikap biasa dan
tenang seakan tak akan terjadi apa-apa.
“Selamatkan diri kalian! Tanggul sebentar lagi
pecah!” aku berteriak seperti orang kesurupan dan berlari.
Orang-orang mengabaikanku dan tetap biasa. Aku
berlari semakin kencang mendapati titik dimana Nania tampak pulas.
Sangat jelas di telingaku retakan kecil tanggul.
Semakin keras terdengar, semakin membuatku lebih cepat berlari. Sejenak aku
melihat ke belakang, guyuran air mengejarku dan menyentuh kakiku saat aku naik
ke atas jajaran papan, pondok bekas perebusan ikan. Aku mendengus lega dan
menenangkan jantungku yang tak damai. Kutarik napasku, sekedip mataku semua
kembali seperti ketika aku datang ke sini bersama Nania. Hamparan ombak-ombak
yang menyentuh jajaran papan pemberi jalan di Ketapang.
Hari sudah gelap. Nania terbangun dan menguap kecil.
Di bawah kakiku yang menggelantung di atas gelombang pasang, mengalir kelopak
bunga-bunga berwarna seperti yang digenggam wanita tua itu.
“Baiklah, kita pulang, Hans,” Nania tersenyum
kepadaku.
Aku masih hanyut pada ingatanku tentang kejadian
barusan dan mengikuti langkah Nania kemudian. Sepanjang jalan yang tampak
remang, di pinggir jajaran papan pemberi jalan dengan gemuruh ombak, beberapa
orang mengerumuni rumah wanita muda yang kami temui saat hendak ke pondok,
bekas tempat perebusan ikan. Aku menggeliat masuk menembus kerumunan dan
melihat sosok gosong tergeletak diselimuti kain berenda yang dikelilingi
beberapa wanita lain yang sedang menangisi jasad wanita itu. Kudapati beberapa
kelopak bunga berwarna di pinggir tempat tidur jasad wanita muda itu. Aku
terhenyak dan berhambur keluar.
Nania ternyata tetap di luar menungguku.
“Kau melihatnya?” kata Nania tersenyum.
Segurat senyum yang membuatku kalut dalam heran.
Kami kembali berjalan menyusuri jajaran papan pemberi jalan. Bundar bulan
tampak semangat memberi sinar pantulan.
“Sepanjang sore, kau tertidur, Nania,” kataku
memecah keheningan.
“Aku? Yah, terasa begitu enak menikmati semilir
angin sore bersama ombak, Hans,” katanya bahagia.
“Kau tak melihatku?” tanyaku pada Nania sambil
menghentikan langkahku.
Nania pun berhenti dan menghadap padaku. Di bawah
sinar bulan, Nania tampak seperti sosok yang akhir-akhir ini menghantuiku. Dia
tersenyum sempit.
“Aku tertidur, Hans,” jawabnya.
Aku menarik napas panjang dan menghembusnya pelan.
“Sepanjang sore aku…..” kuceritakan yang kualami
sepanjang sore tadi.
“Kau melihatnya,” kata Nania dan tertunduk.
“Kemudian aku menemui jasad gosong wanita muda itu,
Nania. Wanita yang tampak indah saat menyapa kita berdua,” kataku lirih dan
menunduk.
Sesaat aku mendongakkan kepalaku dan melihat sosok
Nania di hadapanku. Nania menggeram bersama api.
“Aku yang membakarnya, Hans!” kata Nania dengan
amarah dan nyala api di tubuhnya.
Mataku terbelalak dan sedikit menjauh. Kucoba
tenang, meskipun kebingungan sedang berkecamuk di kepalaku.
“Nania,” sapaku pelan.
Jilat-jilat api yang menyelimuti tubuh Nania semakin
marak. Nania membelakangiku.
“Aku membenci wanita itu saat memandangmu, Hans! Aku
marah,” kata Nania menelan deburan ombak di atas gelombang pasang. “Aku
menahanmu sepanjang sore, aku terpulas dan kau melihat wanita tua di pelupuk mataku. Aku marah kau menyelami
laut Ketapang dan turut dalam kejadian tanggul pecah. Kau sudah tau, Hans!”
kata Nania lagi dengan semarak api di tubuhnya.
“Apakah itu kesalahan?” tanyaku semakin menjauhi
Nania. Aku takut.
“Salah! Tak seorangpun yang tau, karena mereka tak
bisa. Awalnya aku hanya marah pada wanita sial itu, ketika dia melempar senyum
padamu! Kau milikku!” kata Nania berbalik menatapku.
Di bawah sinar bulan yang indah kini mencekam,
gemuruh suara Nania memenuhi Ketapang dan meretakkan deburan ombak saat
gelombang pasang.
“Aku marah, wanita itu menyukaimu! Dan kini aku juga
marah padamu, Hans!” Nania sangat murka dan menyebarkan api di sepanjang
jajaran papan pemberi jalan di atas gelombag pasang.
Aku masih berdiri di titik yang sama, di atas
jajaran papan pemberi jalan yang senyap dan menangis saat melihat sosok mirip
tubuhku kini tergeletak gosong di hadapanku, di atas jajaran papan pemberi
jalan di atas gelombang pasang. Nania berlalu ketika aku menjerit memecah keheningan
malam yang terasa bernapas.
*Terima kasih Ketapang-Sibolga yang sangat menginspirasi