Di Atas Gelombang Pasang



Aku di atas gelombang pasang. Angin selaras dengan deburan ombak yang menghantam tiang-tiang penegak jalan sempit yang tersusun dari jajaran papan. Di atas gelombang pasang. Berkejar-kejaran seperti berlomba untuk menjulang sangat tinggi. Mencapai udara di atas gelombang, membasahi kaki-kaki yang berjalan di atas jajaran papan, di atas gelombang pasang.
Semilir angin meliuk-liuk ke sela-sela rambutku. Helai rambutku seakan melayang namun kembali jua. Katanya ini Ketapang, satu tempat dengan kekentalan kehidupan penduduk pesisir. Di atas gelombang pasang, beberapa rumah berdiri dengan penyokong bertahan dengan tolak-tarik ombak. Katanya ini Ketapang, tapi tak asri di mataku.
Aku melangkah perlahan, takut kalau-kalau kakiku terperosok ke dalam papan yang berlubang yang langsung menghantar kakiku menyentuh air laut. Menghitam. Beling melambai selaras dengan gelojak ombak.
Di atas gelombang pasang, langkah kaki membuyarkan konsentrasi. Wanita tua dengan seikat kembang segar berwarna-warni dalam genggamannya. Keriput punggung tangan dan kerudung gelap. Rok panjangnya terseret-seret diarahkan langkah kaki, dia menunduk, seakan meniti satu persatu langkahnya dan menerjemahkannya dalam bahasa batin. Seperti hendak menangis. Beberapa kali kudapati dari kejauhan, punggung tangan yang keriput menyeka pipi yang tersembunyi. Masih menunduk. Kuarahkan kameraku padanya. Dia berhenti. Mengangkat wajahnya kemudian.
Apo yang nandak kau lakukan, Anak Mudo? Ambo tak sanang baitu!1” ucapnya dingin.
Bahasa pesisir dengan logat kental dari tempat yang bernama Ketapang.
Aku menurunkan kameraku dan memandang matanya. Jauh ke dalam, seperti perubahan warna mata tiba-tiba, pelupuk matanya seakan mengelupas. Di balik kerudung gelap, terurai sedikit rambut putihnya dibawa tiupan angin.
Tangannya tak lepas mengenggam seikat bunga segar. Aku memerhatikannya kembali. Wanita tua itu tampak asing di sini. Di kala orang-orang menyiangi ikan asin, beberapa anak berkejar-kejaran tak takut jatuh ke dalam ombak dan hanyut kemudian,


seorang wanita berjalan biasa melewati mereka dengan kerudung gelap, di atas gelombang pasang.
Sedetik-dua detik aku larut dalam matanya yang redup, dia berjalan dan berhenti kemudian di satu sisi buntu dengan hamparan gelombang di depannya.
Aku memotretnya dari jauh. Seperti dia menyadari aksiku, dia mengarahkan wajahnya ke arahku dan sempurna gambarnya! Aku kembali berjalan mencari tempat yang seharusnya aku sudah sampai untuk beristirahat sebentar. Aku memotret tingkah lasak anak-anak yang sedang bermain di atas jajaran papan-papan rapuh seakan tak takut jatuh ke dalam ombak dan hanyut kemudian.
Bruuukk!!
Seseorang terjatuh di hadapanku. Seorang bocah tanpa kasut kaki terduduk dan menunduk.
“Maaf!” ucapnya dingin.
Dari antara anak-anak yang bermain, sudah jauh kutinggalkan. Seorang dari mereka mungkin, jatuh di hadapanku. Tak kusadari, sepertinya ia berlari dan menabrakku. Kemudian ia meminta maaf dan tetap dingin. Mulutku terkatup. Tanpa aksi aku membiarkan bocah itu menunduk dan berlari kemudian. Aku memotretnya dari belakang, dari punggungnya yang kecil, dia sebentar menoleh ke belakang, seakan tau aksiku dan sempurna gambarnya!
*
“Kau pernah melakukannya?” tanya Nania padaku sambil menuangkan sayur-sayur sisa berair ke ember makanan babi.
Di atas gelombang pasang yang menderu menghantam tiang-tiang penyokong rumah, Nania melangkah gesit menghindari lubang di antara jajaran papan pemberi jalan. Tangan kekarnya lekas menuangkan makanan ternak yang sudah dipanaskannya. Kuperhatikan babi-babi tambun melahap makanan “sampah” di hadapanku. Kuraih kamera yang tergantung di leherku dan memotret aksi rakus babi-babi itu.


“Baru ini aku melihat ternak seperti ini diberi makan,” kataku menerpa wajah Nania yang memandangiku sedari tadi.
Aku tersenyum, melemparkan rasa terima kasih karena keluarga Nania memberiku tempat untuk istirahat sebelum menaklukkan Ketapang ini.
“Tunggu aku di depan, Hans. Aku akan membersihkan semuanya dan kemudian, kita akan berkeliling di atas jajaran papan,” kata Nania.
Aku mengangguk pelan dan langsung mengarah ke teras. Teras papan bersambung dengan ruang tamu papan juga. Di atas penyokong yang dihantam tolak-tarik ombak, di atas gelombang pasang.
Aku menyetel kameraku dan memerhatikan lalu-lalang yang memerhatikanku. Aku memang asing di sini. Wajah yang terbentuk dari perpaduan Batak dan Aceh-Jepang memang membuatku menjadi sorotan. Kebanyakan masyarakat di sini berkulit hitam karena bergelut dengan penguasa siang sepanjang hari. Pemuda di sini tampak kekar, tak seperti badanku yang kurus menjulang tinggi dengan betis mirip peragawati. Aku lelaki, tapi tak seperi lelaki di sini.
Nania muncul tiba-tiba dengan dandanan menor seakan hendak mengajakku kondangan. Casual style yang sangat bertolak belakang dengan tampilan Nania menggelitik perutku. Roknya panjang, sedangkan aku menggunakan celana pendek. Kemudian Nania berjalan di depan, bak seorang guide.
Aku berhasil menaklukkan beberapa meter jajaran papan pemberi jalan bersama gejolak ombak yang kian mengganas. Di bawah terik, kurasakan tapakan yang tak rata. Seperti tumpukan jerami, jajaran papan pemberi jalan seperti mengombang-ambingkan tubuhku dan mengguncang isi perutku. Mulutku membisu menahan rasa muak terlebih melihat kandang-kandang babi di beberapa sisi jajaran papan pemberi jalan di atas gelombang pasang.
Ise na diboan mi, Nania? Bagak hu ida bah,2” seorang wanita muda muncul dan berhenti di depan Nania, bercakap-cakap kemudian dalam bahasa Batak.


I do? Familiku do on, Akkang. Sian Solo, naeng liburan di son,3” kata Nania lancar dengan bahasa Bataknya.
Seperti sepi mencekam hadirku. Tak banyak orang yang memerhatikan. Kebanyakan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kemudian aku tersenyum seadanya kepada wanita itu. Mungkin wajahku tak merona lagi di bawah sengat terik ini. Sudah pucat pasi dengan perasaan mual seperti diombang-ambing.
Hu hira halletmu bah, Nania, lomo rohaku mangida,4” kata wanita itu sambil menunjukku.
Aku melotot kaget dan mataku seperti dicongkel keluar. Nania hanya tersenyum, melihatku kemudian.
Ah, daong. Anak ni namboruku do on, Akkang,5” jawab Nania lagi.
Oke ma dah molo songon i. Sukses dohot pariban ate,6” wanita itu berlalu sambil memekarkan senyum kilatnya padaku.
Selanjutnya, kami berdua menyisir jajaran papan pemberi jalan yang semakin sepi dan menyengat.
Nania membawaku di satu pondok bekas perebusan ikan. Masih terasa bau amis. Di hadapan kami bergemuruh ombak-ombak sedang menghantam pinggiran jalan dan membasahi kaki-kaki yang melewati jajaran papan pemberi jalan.
Aku teringat pada wanita tua yang kutemui beberapa hari lalu. Dia tepat berdiri di sini saat aku mengambil gambarnya. Jelas kuingat, kerudung dan seikat bunga di genggamannya.
“Kau kenapa, Hans?” Nania membuyarkan konsentrasiku.
Aku memandang ke arah Nania. Wajahnya  diterpa silau mentari yang membakar. Jauh di kedalaman matanya berbayang wanita tua yang pernah kutemui. Sedang menabur bunga di pinggir jajaran papan, di bawah sengat mentari, bersama gejolak


ombak bunga yang ditabur berlalu menjauh. Jauh di kedalaman matanya, wanita tua itu menyeka pipinya dan menghilang perlahan.
“Hans…” sapa Nania sambil mengguncang lenganku.
Aku melihat lagi, gelap kulit tangan Nania menyentuh lenganku, seakan meretakkan hastanya. Angin yang berhembus terasa panas. Jauh di kedalaman pandangan Nania, pupilnya perlahan mengecil dan menjadi setitik, kemudian tiada. Hanya selaput putih yang terlihat di balik kelopak mata Nania. Selaput putih yang menjahit mulutku untuk tak bersuara.
Senyum Nania tipis. Bibirnya pecah dan mengering secepat mataku beralih. Semua tampak menakutkan. Dari ujung-ujung jari tangan Nania, keluar kuku-kuku runcing pucat. Aku masih memerhatikannya. Sesaat Nania kembali seperti semula. Aku langsung menjauhkan lenganku dari jamahannya.
“Kau melihatnya, Hans?” tanya Nania menunduk.
“Kau bicara apa?” aku balik bertanya dengan suara yang masih bergetar.
“Wanita itu, di mataku,” kata Nania lirih.
Aku diam. Wanita tua yang barusan kulihat di kedalaman matanya tampak akan membuat Nania sedih. Sementara pancaran ketakutanku tak bisa ditutupi.
“Tidak. Sudah, lupakan itu. Aku ingin kembali ke rumahmu,” jawabku.
“Kita akan di sini sampai petang,” katanya lagi.
“Kenapa harus di sini?” tanyaku.
“Kita akan lebih aman berada di sini,” cekam suara Nania membuatku menurut.
Matahari kian surut di Barat, melukis keindahan di tepinya, di balik gunung. Petang yang dimaksud Nania berkunjung. Lelap memeluk Nania. Di bawah langit sore, aku mengabadikan gambar indah di atas gelombang pasang yang menjadi surut sebentar. Nania masih terbuai oleh sentuhan angin. Pasang semakin surut dan lautan di hadapanku kering. Aku berdiri dan turun ke dasar lautan yang tak berair lagi. Kering


keronta. Sesaat hijau bak hijaunya kebun teh yang sering kulihat. Sekilat muncul beberapa orang dan berlalu lalang di hadapanku. Orang-orang itu sibuk seperti pekan pasar pagi, mungkin juga tak memerhatikan keberadanku yang memerhatikan mereka. Tanpa kasut, kaki mereka menyusur tanah dan berjalan seakan tak ada henti untuk beraktivitas. Kuabadikan gambar mereka.
Bruuukk!!
Seseorang terjatuh di hadapanku. Seorang bocah tanpa kasut kaki juga terduduk dan menunduk.
“Maaf!” ucapnya dengan senyum, berlari kemudian.
Ingatanku menerbang pada anak yang menabrakku ketika aku menyusur jajaran papan pemberi jalan hendak mencari rumah Nania. Pakaian yang digunakan dan sorotan mata yang sempat kuabadikan.
Dahiku mengernyit dan turut berlari selangkah mengikuti bocah itu. Kemudian dia berhenti di depan gerbang besar dan berujung runcing.
Percakapannya seperti memohon kepada beberapa orang dewasa untuk memasuki gerbang itu. Lebih maju lagi, aku memerhatikan mereka.
Awak mau basuo sama uci, sakali lai sajo,7” ucap bocah itu sambil menangis.
Ndak bulih! Uci ang nandak diagi hukuman!8” bentak salah seorang dewasa itu sambil mencengkeram anak itu agar tak masuk.
Beberapa orang lain berlalu lalang dan memerhatikan kejadian itu dengan tatapan kosong. Mereka berjalan seperti tak memerhatikan sekitar. Sebentar saja mataku beralih, simbah darah mengalir dari tubuh bocah yang sekarang tergeletak. Menggelepar sebentar dan mungkin tak bernapas. Seorang wanita tua berteriak histeris dari balik jeruji di balik gerbang besar itu. Wanita tua yang kulihat saat pertama menyusuri Ketapang di atas gelombang pasang. Kerudung gelap yang membalut kepala hingga leher dan sorotan matanya. Sedangkan orang-orang dewasa yang bersama bocah itu berhambur masuk dan meninggalkan jasadnya.


Aku mendekat dan semakin dekat. Mungkin keberadaanku tak disadari sehingga begitu mudahnya aku mengintip keadaan di balik gerbang besar itu. Tangan wanita tua itu sedang diikat oleh beberapa laki-laki kekar dan kemudian menggantungnya. Tepat seperti teroris yang akan ditembak mati, wanita itu sangat bersedih. Semua jelas terlihat. Jauh di belakang tubuh wanita tua itu, terdapat tanggul besar yang menjulang tinggi pembatasnya. Aku masih mengamati.
Apo yang lai kau lakukan, Anak Mudo?9” seorang lelaki tua bertongkat menyentak konsentrasiku.
“Saya hanya,” suaraku terputus.
Jangan liek-liek inyo. Inyo nandak dieksekusi.10 Hahaha,” gelegar tawa lelaki tua yang membungkuk itu membuatku heran.
“Kenapa Bapak tertawa?” tanyaku.
Ang calik iko?11” tunjuk lelaki tua itu dengan tongkatnya jasad bocah yang mulai dikerumuni lalat.
Iko cucunyo,12” tongkatnya kemudian mengarah pada celah yang dapat menangkap wajah wanita tua yang sekarang menunduk.
“Apa yang sedang terjadi, Pak?” tanyaku mulai digelut penasaran.
Ucinyo accok baapi kalo berang, Anak Mudo,13 hahaha,” tawa lepas itu semakin membuatku bingung.
“Apa yang sudah dilakukannya, Pak?” tanyaku lagi.
Ala banyak bana urang mati karananyo. Ang nandak?14” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. Lagi-lagi lelaki itu tertawa.
“Jika ia berapi ketika marah, kenapa ia tak berapi sekarang? Bukankah ia sedang marah?” tanyaku pelan.


Ha, iko inyo… Ang harus bisa mancalik yo,15” perintah lelaki tua itu sambil mengacungkan telunjuknya di depanku. “Calik apo yang diikek di kakiko,”
Aku memerhatikan segulung bunga berwarna melilit sebelah pergelangan kaki wanita tua itu. Segulung bunga yang tampak kontras dari keadaan tubuh wanita tua yang kusam dan seikat bunga yang digenggam wanita tua yang kutemui saat aku menyusur di jajaran papan pemberi jalan.
 Nah, iko panangkalnyo. Calik sajo, inyo ndak badayo lai kan?16 Hahaha,” gelegar tawa lelaki itu menyudahi kisahnya dan berlalu.
Aku masih memerhatikan keadaan di balik gerbang dari celah ramah. Tiba-tiba aku terkejut melihat sorot mata wanita tua yang kini mengarah padaku. Aku terpaku dan mengembalikan ingatanku saat bertemu dia untuk pertama kali. Riuh semakin menjadi-jadi. Khalayak tampak semakin ramai. Aku memerhatikan wanita tua itu lagi. Sesaat dia berteriak kencang seperti angin puting beliung, sesaat itu pula khalayak berhenti beriuh dan senyap mencekam, riuh kembali kemudian.
Jauh di belakang tubuh wanita tua itu, bangunan pembatas tanggul tampak retak kecil. Aku terhenyak dan berlari menjauhi gerbang. Berlari melewati kerumunan orang-orang yang masih bersikap biasa dan tenang seakan tak akan terjadi apa-apa.
“Selamatkan diri kalian! Tanggul sebentar lagi pecah!” aku berteriak seperti orang kesurupan dan berlari.
Orang-orang mengabaikanku dan tetap biasa. Aku berlari semakin kencang mendapati titik dimana Nania tampak pulas.
Sangat jelas di telingaku retakan kecil tanggul. Semakin keras terdengar, semakin membuatku lebih cepat berlari. Sejenak aku melihat ke belakang, guyuran air mengejarku dan menyentuh kakiku saat aku naik ke atas jajaran papan, pondok bekas perebusan ikan. Aku mendengus lega dan menenangkan jantungku yang tak damai. Kutarik napasku, sekedip mataku semua kembali seperti ketika aku datang ke sini bersama Nania. Hamparan ombak-ombak yang menyentuh jajaran papan pemberi jalan di Ketapang.


Hari sudah gelap. Nania terbangun dan menguap kecil. Di bawah kakiku yang menggelantung di atas gelombang pasang, mengalir kelopak bunga-bunga berwarna seperti yang digenggam wanita tua itu.
“Baiklah, kita pulang, Hans,” Nania tersenyum kepadaku.
Aku masih hanyut pada ingatanku tentang kejadian barusan dan mengikuti langkah Nania kemudian. Sepanjang jalan yang tampak remang, di pinggir jajaran papan pemberi jalan dengan gemuruh ombak, beberapa orang mengerumuni rumah wanita muda yang kami temui saat hendak ke pondok, bekas tempat perebusan ikan. Aku menggeliat masuk menembus kerumunan dan melihat sosok gosong tergeletak diselimuti kain berenda yang dikelilingi beberapa wanita lain yang sedang menangisi jasad wanita itu. Kudapati beberapa kelopak bunga berwarna di pinggir tempat tidur jasad wanita muda itu. Aku terhenyak dan berhambur keluar.
Nania ternyata tetap di luar menungguku.
“Kau melihatnya?” kata Nania tersenyum.
Segurat senyum yang membuatku kalut dalam heran. Kami kembali berjalan menyusuri jajaran papan pemberi jalan. Bundar bulan tampak semangat memberi sinar pantulan.
“Sepanjang sore, kau tertidur, Nania,” kataku memecah keheningan.
“Aku? Yah, terasa begitu enak menikmati semilir angin sore bersama ombak, Hans,” katanya bahagia.
“Kau tak melihatku?” tanyaku pada Nania sambil menghentikan langkahku.
Nania pun berhenti dan menghadap padaku. Di bawah sinar bulan, Nania tampak seperti sosok yang akhir-akhir ini menghantuiku. Dia tersenyum sempit.
“Aku tertidur, Hans,” jawabnya.
Aku menarik napas panjang dan menghembusnya pelan.
“Sepanjang sore aku…..” kuceritakan yang kualami sepanjang sore tadi.
“Kau melihatnya,” kata Nania dan tertunduk.
“Kemudian aku menemui jasad gosong wanita muda itu, Nania. Wanita yang tampak indah saat menyapa kita berdua,” kataku lirih dan menunduk.
Sesaat aku mendongakkan kepalaku dan melihat sosok Nania di hadapanku. Nania menggeram bersama api.
“Aku yang membakarnya, Hans!” kata Nania dengan amarah dan nyala api di tubuhnya.
Mataku terbelalak dan sedikit menjauh. Kucoba tenang, meskipun kebingungan sedang berkecamuk di kepalaku.
“Nania,” sapaku pelan.
Jilat-jilat api yang menyelimuti tubuh Nania semakin marak. Nania membelakangiku.
“Aku membenci wanita itu saat memandangmu, Hans! Aku marah,” kata Nania menelan deburan ombak di atas gelombang pasang. “Aku menahanmu sepanjang sore, aku terpulas dan kau melihat wanita tua  di pelupuk mataku. Aku marah kau menyelami laut Ketapang dan turut dalam kejadian tanggul pecah. Kau sudah tau, Hans!” kata Nania lagi dengan semarak api di tubuhnya.
“Apakah itu kesalahan?” tanyaku semakin menjauhi Nania. Aku takut.
“Salah! Tak seorangpun yang tau, karena mereka tak bisa. Awalnya aku hanya marah pada wanita sial itu, ketika dia melempar senyum padamu! Kau milikku!” kata Nania berbalik menatapku.
Di bawah sinar bulan yang indah kini mencekam, gemuruh suara Nania memenuhi Ketapang dan meretakkan deburan ombak saat gelombang pasang.
“Aku marah, wanita itu menyukaimu! Dan kini aku juga marah padamu, Hans!” Nania sangat murka dan menyebarkan api di sepanjang jajaran papan pemberi jalan di atas gelombag pasang.
Aku masih berdiri di titik yang sama, di atas jajaran papan pemberi jalan yang senyap dan menangis saat melihat sosok mirip tubuhku kini tergeletak gosong di hadapanku, di atas jajaran papan pemberi jalan di atas gelombang pasang. Nania berlalu ketika aku menjerit memecah keheningan malam yang terasa bernapas.

*Terima kasih Ketapang-Sibolga yang sangat menginspirasi
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Popular Posts

Recent Posts

Categories

Copyright © Anastasya Hutasoit | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com