image source: http://statis.dakwatuna.com
Dalam senyap yang biasa, bersama alunan gemerisik jangkrik, terdengar sayup-sayup gesekan ranting-ranting lemah dengan udara. Sungguh lelap benderang malam ini. Khayal yang sudah menerbang entah kemana, menyisa rindu untuk kaum pengembara di gelap. Wanita dengan satu napas.
Dalam senyap yang biasa, bersama alunan gemerisik jangkrik, terdengar sayup-sayup gesekan ranting-ranting lemah dengan udara. Sungguh lelap benderang malam ini. Khayal yang sudah menerbang entah kemana, menyisa rindu untuk kaum pengembara di gelap. Wanita dengan satu napas.
Hampir
telanjang dia. Di hadapan cermin dipandangnya wajah kemayu dicoret make-up bak badut di pasar malam.
Disapunya dengan mata liar lekuk-lekuk tubuhnya yang dibalut kain tipis
setengah dada. Masih di hadapan cermin yang semakin buram di peluk debu, di
bawah remang lampu kuning, dari balik kelambu, diukurnya payudaranya dengan
lengkungan tangan kekar.
Dengusannya
meretakkan cermin. Wanita satu napas tertunduk sejenak dan mendongak meratap pecahan
di hadapannya. Disapunya lagi dari betis hingga sepahanya yang tak tertutup rok
mini yang berteriak gairah malam yang tak pernah singkat.
Dirapikannya
ranjang dalam kelambu kusam kalau-kalau pelanggannya malam ini bukan beruang
nakal dengan kantong emas. Di bawah remang lampu kuning, ditatanya sisi ranjang
yang lemas menjadi gembung yang siap menampung. Senyum tipis untuk memulai
malam. Wanita satu napas melangkah.
*
“Umi
tak tau harus berbuat apa lagi, Harum. Adikmu di luar kendali Umi,” ungkap
wanita tua yang duduk di atas bangku bambu di teras sempit depan rumahnya.
Sedangkan
wanita yang disebut Harum itu memandang jemari kakinya melekat pada lantai.
Jauh dari itu, ia meresapi kata-kata ibunya. Lebih jauh lagi, ungkapan itu
mengoyak kantung air matanya dan menyembur memburu tanah hingga sembab.
Pandangan
wanita tua itu lepus menembus udara di hadapannya. Masih diam setelah berkata.
Diangkatnya perlahan cangkir teh tanpa gula dengan getar tangan lemah direnggut
usia. Wanita tua itu masih hanyut dalam pandangan kosong setelah tegukan.
Hening kemudian.
“Astaghfirullah, Umi!” jerit Harum
memapah tubuh ibunya dari kejatuhan.
Berbondong-bondong
warga yang melintas membantu Harum mengangkat ibunya ke dalam. Hingga memasuki
kamar, meletakkan tubuh tua itu di atas ranjang tipis. Di tepinya, Harum duduk
hingga menyambut malam yang mencekam.
Dioles
Harum setetes-dua tetes minyak di sela telinga wanita tua yang disebutnya ibu.
Agar ibunya sadar, itu maksudnya. Dikusuknya pelan-pelan jari ibunya, sambil
berdoa. Tak lama, wanita tua itu sadar dan berkata-kata lemah. Harum berhenti berdoa dan
mengamati titik sadar ibunya.
“Umi...
Umi merasakan sakit di bagian mana, Umi?” tanya Harum bernada panik.
Ibunya
masih bungkam. Pandangannya kosong seakan memandang langit di balik
langit-langit. Sebentar dipandangnya Harum dengan mata membelalak. Harum gentar
dengan pandangan itu.
“Umi
…” Harum memanggil ibunya lembut.
Genggaman
tangan wanita tua itu terhadap tangan Harum semakin erat saja. Wanita tua itu
masih memandang ke atas mengikuti posisi rebahnya. Memandang langit seakan
menembus langit-langit.
“Umi
…” Harum menangis dalam genggaman tangan ibunya.
Wanita
tua itu menusuk pandangan sayu Harum yang sembab dikerumuni sisa air mata,
“Sebentar lagi, Harum. Buka pintu untuknya,” kata wanita tua itu.
Harum
tertegun bingung. Masih hanyut raganya dalam ketidakapahaman akan kata-kata
yang baru ia dengar.
“Beranjak
Harum! Dia ke sini!” sentak wanita tua itu dari genggaman tangannya terhadap
tangan Harum.
Harum
seakan disepak dari posisinya semula, “Astaghfirullah,
Umi! Istighfar…” pekik Harum di tengah nyenyat.
Wanita
itu masih rebah di atas ranjang dan kemudian tenang. Sebentar pintu diketuk.
Harum berhambur keluar dari kamar untuk membuka pintu. Disekanya sisa tangisnya
tadi agar tak menimbulkan iba kalau-kalau orang lain yang bertamu. Dibukanya
perlahan dan matanya terhenti memandang sosok di hadapannya.
Harum
dan sosok itu terpaku.
*
Wanita
satu napas. Ditenangkannya amarahnya sebentar. Wanita satu napas mengalirkan bulir-bulir
air penyegar di atas ladang tubuhnya yang ramping setelah emosi sesaat.
Dinikmatinya tirta menyentuh kulitnya yang terasa sensitif. Diusapnya lahan
pipinya seperti mengurut ke atas dengan facial
foam. Sebentar disekanya air sisa mandi dengan handuk, lalu dibalutnya
tubuhnya.
Di
hadapan cermin, dengan debu yang menempel, di bawah remang lampu kuning,
bayangan hampir telanjang berdiri. Dipandangnya seluk-beluk tubuhnya yang
semakin kurus. Betis hingga paha yang hampir mengeluarkan tulang-tulang
penyokong. Diolesnya minyak zaitun di sisi-sisi yang tampak kekar. Kemudian
disapunya bedak pelapis di wajahnya, sebentar saja, wanita satu napas selesai
melukis di wajahnya sendiri. Seperti biasa, busana yang membiarkan aurat
berteriak untuk dijamah, melengkapi umpan untuk memancing laki-laki peminat
malam.
Dijilatnya
perlahan bibir yang sudah dilumuri lipstik merah yang membakar dingin yang
menyelimuti nyenyat, lalu berhambur seperti anjing lepas, si wanita satu napas.
Disorongnya perlahan pintu kamarnya agar tak melahirkan bising yang mengulang
keributan seperti tadi. Melangkah dia sayup-sayup seperti maling. Dilihatnya
satu sosok terlelap di kamar tengah dan satu lagi menengadah lelah dalam
tidurnya di bangku, itu Harum.
Kalau-kalau
Harum terjaga, mungkin saja ia memekik dan wanita satu napas itu harus berdebat
hebat dengan Harum sebelum keluar. Makin sayup langkah kakinya hingga tak
terdengar, terlebih di depan jasad Harum yang tidur-tidur ayam, yang mungkin
saja lekas terjaga jika laluan tubuh wanita satu napas menghembuskan dengusan angin.
Wanita
satu napas meraih daun pintu dan lepus keluar. Harum lekas membuka matanya dan
memandang angin sisa jejak wanita satu napas di hadapannya. Daun pintu yang
kembali terkatup dan Harum tak ingin mengulang pertengkaran yang sama ketika ia
membukakan pintu untuk sosok yang datang, kemudian terpaku bersama sosok itu
dan menyambutnya dengan amarah dan perdebatan yang hanya membuat ibunya semakin
sakit. Harum sudah membukakan pintu untuk wanita satu napas itu. Harum menangis
seperti bersembunyi, khawatir kalau-kalau ibunya gelisah karena tangisannya. Harum
buru-buru menyeka air matanya ketika ibunya sadar kembali.
“Harum,”
panggil ibunya.
“Iya,
Umi,” Harum menyahut lembut kemudian duduk di tepi ranjang ibunya.
Mata
wanita tua yang Harum sebut ibu hanya semakin redup ketika melihat sembab siksa
dari mata Harum yang bersedih.
“Tidurlah.
Dia hanya akan kembali subuh nanti,” kata ibunya sambil memeluk lengan Harum.
“Iya,
Umi. Umi istirahatlah, segera Harum akan tidur,” kata Harum menenangkan ibunya.
Lepus
bersama satu-dua hembusan, ibunya kembali terlelap dan Harum kemudian sholat.
Dalam ketenangan gelap, Harum kusyuk berserah pada Khalik.
“Allahhumma firli wali wali daina warhamhuma
kamaa robbayana soghiroh. Ya, Allah, aku tahu keadaan Umi … Jika aku tak
kembali segera, Umi akan semakin diterlantarkan… Aku juga tahu, keadaan adikku,
ya, Allah. Itukah dia? Bagaimana dia yang dulu? Tuntun dia ya, Allah.
Kembalikan dia pada kebenaran yang Engkau takdirkan padanya. Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil
'akhirati hasanatan waqina 'adzaban-nar Amin,” Harum lelah dalam tangisnya
dan terlelap dengan mukenah putih yang masih digunakannya.
*
Wanita
satu napas berdiri di pinggir jalan lintas melambai dan mengangkat sedikit rok
mininya agar lebih leluasa paha rampingnya terpampang. Berhasil ia menghentikan
satu mobil mewah setelah cukup lama melambai. Dari balik kaca mobil, lelaki
hidung belang menarik pinggang ramping wanita satu napas itu, cekatan dan
menarik dagu wanita satu napas untuk setara dengan posisi bibirnya. Dalam satu
kecupan liar, wanita satu napas ditawar harganya.
Kesepakatan
kotor terjadi begitu singkat. Demi kenikmatan pikir si lelaki dan entah untuk
apa bagi wanita satu napas itu. Sebentar mobil melesat kencang ke tempat sepi
dan gelap. Wanita satu napas cemas tak karuan. Cemas yang selalu ia pikirkan
ketika pelanggan membawanya melaju ke satu tempat maksiat. Bukan bahagia yang
dirasa, cemas yang selalu bersama wanita satu napas itu.
Sebentar
saja melesat, mobil itu berhenti di pinggiran jalan sepi. Lelaki hidung belang
memandang aurat yang dijual bak jantan hendak mengawini betinanya, beringas
nafsunya. Wanita satu napas meraih bejat itu dengan manja. Sebentar mereka
meliuk-liuk seperti ular tersiram garam di dalam mobil yang ikut terguncang,
wanita satu napas terhempas keluar dari mobil, tercampakkan dengan beberapa
lembar uang ratusan.
“Sial!
Tak puas aku denganmu, biadab!” pekik lelaki itu meludahi paha wanita satu
napas itu dan melesat pergi sendiri.
Wanita
satu napas bangkit dari hempasan tadi dan memungut lembar ratusan, sebanyak 5
lembar satu per satu. Di sisipkannya di antara dadanya tanpa segores sumringah
puas setelah itu.
Ditaklukkannya
kegelapan dengan kakinya yang sepertinya semakin kekar. Berjalan jauh tanpa
lalu-lalang keramaian. Sebentar angin berhembus meruapkan bulu kuduknya.
Gemerisik jangkrik terdengar merdu dan sendu saat cemas wanita satu napas
mengepul tinggi seperti gumpalan mega sebelum hujan.
Pandangannya
lurus mencari cahaya untuk pulang. Lelah kakinya dengan hak tinggi kondangan
yang ia dapat dari temannya, dilepasnya langsung dan ditentengnya seperti
membawa belanjaan ibunya ketika masih sehat. Wanita satu napas menerbangkan
angannya kepada Ayahnya dulu, Ayah yang mencari nafkah ketika malam. Seperti
yang dilakukannya.
Wanita
satu napas tetap meniti jejak saratnya hingga terpaku kembali ketika Harum
membukakan pintu untuknya.
Harum
menangis senyap. Tanpa desak tangis yang begitu memancing, Harum menolak tubuh
wanita satu napas itu untuk keluar, Harum pun turut keluar.
“Kau
apakan tubuhmu?” tanya Harum dengan amarah yang dikalahkan tangis.
Wanita
satu napas tertegun memandang Harum, kakaknya menangis sebegitu hebatnya.
“Sudahlah,
Harum. Kau dan aku sama-sama lelah. Marilah kita beristirahat,” wanita satu
napas itu berucap lembut dan membimbing Harum untuk masuk.
“Jangan
sentuh aku! Lepaskan tanganmu!” teriak Harum dengan mata terbelalak seperti
hendak keluar, bertabur di tanah dan menjadi bola-bola tak berharga kemudian.
Wanita
satu napas itu hanya diam.
“Katakan,
demi apa kau begini?” serak suara Harum sangat berat.
“Umi
tak pernah kau perhati…” suara Harum tergantung.
“Kau
kemana selama ini, Harum? Hanya aku? Aku mengurus Umi, mulai dari Abah mati!
Kau datang, dan lekas pergi. Kenapa itu tak kau lakukan lagi, Harum?” tanya
wanita satu napas itu beradu teriak di hadapan Harum.
Kali
ini, Harum yang hanyut dalam pertanyaan wanita satu napas itu.
“Aku
memasak, mengurus Umi tanpa uang? Aku berpikir untuk bekerja. Kau tau Harum,
jika aku hanya bekerja seperi pemuda-pemuda di sini, kapan Umi bisa berobat ke
bidan? Kapan Umi bisa memakan obat-obat mahal penyanggah kelemahannya? Dan,
kau, Harum? Kau menikah, mengurus anak-suamimu, kembali dan lekas pergi,
begitu, kan, Harum?” tanya wanita satu napas itu terpenggal-penggal.
Isak
napasnya beradu bersama detak jantungnya yang memompa lebih cepat.
Harum
semakin menangis.
“Kau
bisa hubungi aku jika merasa keberatan mengurus…,” kata Harum dengan isaknya
yang hebat terpenggal.
“Aku
tau, itu yang akan kau katakan,”suara wanita satu napas itu berhenti dan
mengatur napasnya. “Aku tak pernah merasa keberatan, Harum. Abah juga tak
pernah merasa keberatan seperti ini hanya untuk menyekolahkan aku dan kau. Tapi
sayang, nikmatnya sekolah itu hanya milikmu, Harum. Hanya untukmu!” tunjuk
wanita satu napas dengan beringas di hadapan Harum. “Agar maharmu bisa tinggi
dan dengan sekolahmu, kau bisa membuang keterpurukan ini dari kita. Tapi apa?”
napas wanita itu terhempas menampar wajah Harum yang sembab. “Setelah Abah
menikahkanmu dan meninggal, kau juga pergi bersama suamimu dan hampir tak
pernah kembali!”
Harum
menerbang bersama sedihnya dibunuh kelam nyenyat yang terasa mencekik lehernya.
Wanita
satu napas itu menangis dan menengadah agar air matanya tak lebih banyak
berhambur jatuh.
“Kau
jangan menangis!” pinta Harum pada wanita satu napas itu.
Mata
wanita itu menyelami pandangan Harum yang merasa bersalah seakan hendak memakan
biji matanya atau memecahkan kerlingan hitam di tengah bola mata agar Harum tak
menangkap bayangannya di tengah malam lagi.
“Yah,
aku tak menangis untukmu, Harum!” Wanita satu napas itu mengatup rahangnya
rapat. “Aku menangis untuk Abah, yang rela menjelma menjadi wanita malam hanya
untuk kau!” urat-urat kekekaran wanita satu napas itu muncul satu-satu.
Harum
menangis sejadi-jadinya. Menyesal telah bertingkah seperti selama ini. Jika
bukan ada niatnya untuk kembali, maka akan berlanjutlah yang dilakukan adiknya
hingga ibunya semakin tidak terurus. Demi uang, seperti kata wanita satu napas
itu.
“Tapi,
kau tak harus melakukan seperti yang Abah lakukan, Aryo! Kau lelaki, kau butuh
wanita untuk dinikahi kelak,” kata Harum menahan tangis yang semakin menusuk.
“Aku
tak peduli, apakah aku ini, Harum! Seperti kau tak peduli terhadap kami,”
wanita satu napas itu mengepal tangannya yang kekar dan rahangnya kembali
terkatup.
“Kau
lelaki sejati, adikku. Jangan salahi kebenaran itu,” kata Harum lembut.
“Setelah
kau menegaskan kembali, aku adalah seorang lelaki, apakah kau akan peduli pada
kami?” tanya wanita satu napas itu sambil memicing ke arah Harum.
“Pasti,
Aryo! Itu tanggung-jawabku,” kata Harum tegas.
Wanita
satu napas itu perlahan melepas wignya
dan memeluk erat Harum.
“Aku
akan membunuhmu jika setelah ini kau ingkar, Harum, terutama terhadap Umi …”
bisik wanita satu napas itu pada kakaknya.
Anastasya Hutasoit (7/19/13 – 01.02 am)