Matahari enggan menampakkan diri. Sepertinya hari akan hujan. Angin sudah menari di hadapanku, pertanda badai kembali datang.
Dari
arah pintu, tertangkap pandanganku sesosok tubuh kecil yang ku kenal.
Helga. Dia menutup pintu perlahan dan kemudian membalikkan tubuhnya.
Ruang
kelas masih sepi. Kami sengaja menutup pintu agar angin tidak menembus
masuk dan menghantarkan hujan ke kelas kami. Keadaan begitu pucat hingga
itu mampu membuatku jatuh terlelap.
Seorang lagi terdengar
membukakan pintu dan kemudian menutupnya. Aku mengacuhkan itu. Namun,
seseorang yang datang tadi menjejak ke arahku dan menyentuh pundakku.
Akupun tersentak dan bangun. "Happ..." Ahh, Dana rupanya!
"Hai, Ren! Kok, tidur?" Dana mengajakku ngobrol dan membuyarkan rancangan mimpiku.
"Abis
suasananya dingin, Dan!" aku menggubrisnya dan memperhatikan sekujur
tubuhnya yang kering tanpa titik-titik hujan. "Kok, kamu nggak basah,
Dan? Padahal, kan, hujan, badai lagi"
"Oh, bukannya ada mantel
yang bisa menghindarkanku dari hujan?" Dana tampak dingin ketika
mengucapkan kata-kata tadi. Kemudian dia ambil posisi duduk di
sampingku.
"Lho, Dana..ini, kan, tempat duduk Sandra.. Kamu tau,
kan, kalo dia paling benci mendapati orang yang lagi duduk di
tempatnya?" Aku menasehati Dana yang sembarangan duduk di bangku Sandra.
Dana
hanya diam, kemudian menunduk sejenak, dan selanjutnya memandang lurus
ke depan. Dana terlihat aneh hari ini. Dia beralih padaku. Dia menatap
mataku dengan pandangan kosong.
Dana anak yang lembut dan ramah.
Tak biasanya dia lancang menatap mata lawan bicaranya. Namun, kali ini
tidak. Dia melumpuhkan serangan tatapan mataku. Aneh! Pandangan
k0songnya begitu tajam. Tak kusangka dia berani seperti ini.
"Tenang Rena! Sandra tak akan datang hari ini. Dia ada di rumahku!" Dana menjawabku dengan pandangan dalam.
"Ada apa di rumahmu?" aku mendesak Dana ingin tau.
Dana
kembali terdiam dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kemudian
memberikan itu padaku. 'Hah! Hanya buku absen. Tak ada yang spesial!'
"Kamu
lupa lagi, ya mengembalikan absen?" Aku bertanya pada Dana yang sekilat
sudah berdiri dan meraih tasnya hendak pergi meninggalkan tempat duduk
Sandra.
"Iya, Ren!" Dana mengatakan pernyataan itu dan kembali menatapku dalam.
Aku
tetap tak sanggup melawan pandangan lancang itu. Aku beralih pada buku
absen yang diberinya padaku. Dana memang ketua kelas yang baik namun dia
memiliki kebiasaan buruk yang selalu membuat Bu Lena, guru BP marah.
Dia selalu lupa mengembalikan buku absen.
Buku absen kutimang dan
kuperhatikan. Buku absen itu kotor dan ada beberapa titik merah. Aku
mengernyitkan kening dan ingin menanyakan apa titik-titik merah itu.
Ketika
aku mengangkat kepalaku dan ingin menanyakan titik merah itu, Dana tak
ada di samping. Dia menghilang. Hanya aku yang ada di dalam kelas. Aku
meneriakkan nama Dana. Tapi dia tak juga muncul. Selanjutnya aku
merasakan guncangan. Dengan sekali kedip mata, kelas sudah ramai.
Aku
mengangkat punggungku yang telungkup di meja. Ternyata Bunga yang
menggoncang tubuhku dan berusaha membangunkan aku. Aku hanyut dalam
kebingungan. Dari beberapa siswa yang berada di dalam kelas, tak satupun
yang menggambarkan sosok seorang Dana.
'Dana mana, ya?'
Aku masih meliarkan mataku mencari bayangan Dana. Tapi hasilnya tetap NIHIL.
Tiba-tiba Ananda berteriak histeris dari arah sudut dan jatuh pingsan.
Aku mendekati Ananda yang dikerumuni 1kelas. Farah meraih ponselnya yang masih terhubung dengan 'seberang'.
"Halo...."
Semua
orang yang mengerumuni Ananda beralih menatap Farah penasaran. Farah
melemas setelah mendengar sesuatu dari seberang. Farah kemudian terduduk
dan tak air
matanya menetes. Aku masih ikut arus kebingungan.
"Ada apa, Far?" Noni menanya Farah yang semakin menangis.
"Ada apa, sih, Far?" Aku mendesak Farah untuk menjawab kepenasaran ini.
Farah menunduk dan terisak, "Dana tabrakan!"
Kalimat
itu menamparku. Jantungku bagai petir menggelegar. Aku tidak percaya.
Perasaanku menangis bagai gerimis yang renyai. Baru tadi aku berbincang
dengan Dana.
Sekilas kudengar, Dana tewas ditabrak truk. Skutermatik yang dikendarainya hancur sedangkan Dana harus kehilangan nyawanya.
'Dana! Dana......!' aku menyebut namanya hingga air mataku menetes.
Aku
mundur dan menjauh dari kerumunan orang. Aku menatap keluar. Hujan
masih saja setia. Di balik hujan, kulihat Dana melambaikan tangannya dan
menghilang. Aku menangis dan tertunduk. Tertangkap pandanganku absen
yang diberinya tadi. Kuraih absen itu dan sehelai kertas jatuh dari
dalamnya, tertulis :
"TERIMA KASIH BUAT KESETIAAN KALIAN"...
Aku semakin menangis dan kurasakan ada kesakitan batin.....
"Dana! Kau tetap sahabatku!"